DILEMATIKA BANK DAN STRATEGI BISNIS

Kita semua pasti menyadari dan paham betul bahwa bank adalah salah satu urat nadi perekonomian nasional. Mekanisme kerja bank yang menjadi jembatan antara masyarakat yang kelebihan dana (surplus of fund) dengan masyarakat yang membutuhkan dana (lack of fund) menjadi pilar penting untuk meningkatkan partisipasi masyarakat secara makro dan mikro dalam pembangunan nasional. Selain itu keberadaan bank mampu menjadi pendorong tereduksinya gap struktural dan culture dalam mengatasi kemiskinan di negeri tercinta. Oleh karena itu partisipasi bank mutlak diperlukan untuk menumbuhkan dan mengembangkan perekonomian nasional. Lantas bank yang seperti apa yang di butuhkan di negeri kita ini yang konon katanya ” gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto rahardjo ”?. Untuk menjawab hal tersebut sangatlah susah karena pada tataran realitas sampai sekarang bank masih menikmati madu ” Net Interest Margin ” masih sangat tinggi, yang menjadi based income dari operasional bank. Tetapi kalau kita mengacu pada tataran idealis tentunya bank yang memegang komitmen untuk menjalankan intermediasi dengan baik dan memegang prinsip prudential banking dalam operasionalisasinya, sehingga terbebas dari ” default”.

Kedua prinsip dasar tersebut sangatlah kontradiktif, karena bank di satu sisi di tuntut untuk menjalankan fungsi intermediasi dengan baik. Konsekuensi menjalankan fungsi ini adalah bank harus aktif dalam menyalurkan dana kepada masyarakat atau sektor riil yang membutuhkan dana baik untuk usaha skala mikro kecil dan menengah ataupun corporate. Artinya dominasi income bank adalah di peroleh dari aktivitas inti ini. Tetapi di sisi lain bank harus mampu menjaga kredibilitas dan kepercayaan publik yang menjadi deposannya. Konsekuensi dari aktivitas ini adalah bank dalam menjalankan aktivitas bisnisnya ” benar – benar prudent ”. Prinsip prudent di jalankan agar bank dalam kondisi prima dan terbebas dari penyakit keterbatasan likuiditas dan menjaga tingkat solvabilitasnya. Artinya porsi untuk menjalankan fungsi intermediasi harus di kurangi atau di rencanakan secara proporsional agar dana yang berhasil di ”pools” oleh bank dapat di gunakan untuk menjaga kepercayaan publik dengan menunjukkan kinerja keuangan yang optimal yaitu rasio kecukupan likuiditas, CAR (capital adequacy ratio) dan rentabilitas yang baik, sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.

Trade off ini sulit di hindari oleh bank, apalagi pemerintah melalui departemen terkait departemen keuangan, depertemen koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah, departemen kesejahteraan rakyat dengan berkoordinasi dengan otoritas moneter memberikan pressure kepada bank untuk meningkatkan loan to deposit ratio (LDR) nya. Hal ini didasarkan pada kebijakan Bank Sentral yang setelah beberapa kali menurunkan BI rate nya, karena lazimnya penurunan BI rate akan identik dengan penurunan Base Lending Rate yang pada akhirnya di harapkan mampu mendorong penurunan suku bunga pinjaman, baik untuk kredit konsumsi, investasi maupun modal kerja. Pressure ini akan semakin di rasakan oleh bank terutama oleh bank – bank pemerintah (BUMN) yang selama ini mendapatkan perhatian khusus ketika mengalami kesulitan likuiditas. Di sisi faktor fundamental ekonomi kita saat ini kurang menunjukkan kinerja yang baik, Bappenas dan departemen keuangan yang beberapa kali melakukan revisi terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 6 % menjadi 5,5% menjai 5%, menjadi 4.5% dan yang terakhir 4 %. Inflasi yang cukup tinggi, dan nilai tukar yang beberapa bulan terakhir bergerak secara volatil. Sementara itu nilai cadangan devisa kita selama tiga bulan terakhir mulai tergerus dalam jumlah yang sangat besar U$ 3 Milyar. Berbagai indikator tersebut menunjukkan adanya perlambatan ekonomi yang cukup serius, sementara daya beli masyarakat menurun akibat mulai bermunculannya gelombang PHK dari berbagai industri di Indonesia sebagai dampak dari krisis finansial global. Data terakhir jumlah masyarakat yang kehilangan pekerjaan sampai dengan bulan Maret 2009 mencapai 100.000 orang.

Sedangkan di sektor perbankan sendiri dengan adanya peningkatan laju inflasi, bergejolaknya nilai tukar rupiah, dan menurunnya daya beli masyarakat angka non performing loan meningkat. NPLs ini menunjukkan bahwa risiko kredit yang di hadapi bank saat ini semakin meningkat. Apalagi data laju pertumbuhan ekspor barang Indonesia menurun hampir mencapai 30 %. Penurunan ekspor ini mengindikasikan tingkat pendapatan perusahaan yang bergerak di bidang ekspor menurun pendapataannya sementara biaya dan ketidakpastian ekonomi meningkat. Dalam kondisi yang serba delematis ini di butuhkan kepercayaan dan keyakinan para bankir bahwa bank masih dapat menjalankan fungsinya dengan baik, dengan catatan di perlukan manajemen pengelolaan yang komprehensif dan integrated terutama marketing management yang handal dalam menghadapi hipno krisis, atau dengan kata lain diperlukan strategi yang baik untuk menjaga stabilitas likuiditasnya dan profitabilitasnya. Salah satu yang paling mudah adalah dengan tetap mempertahankan dananya pada SBI (Sertifikat Bank Indonesia) di Bank Indonesia dan memberikan kredit program – program pemerintah misalnya kredit untuk peningkatan infrastruktur, kredit usaha rakyat, kredit perumahan untuk rakyat dll. Tetapi cara tersebut akan semakin memojokkan perbankan nasional karena dianggap tidak care terhadap perbaikan dan peningkatan sektor riil di Indonesia, yang selama ini memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu agar bank tidak menghadapi stigma ” selalu berbulan madu dan hanya mau mengambil madu ” maka bank harus terus berinovasi dan berkreasi dengan berbagai strategi marketing yang handal dan handal dalam me manage risiko yang muncul di tengah situasi ekonomi Indonesia yang tidak pasti.

Aspek strategi pemasaran yang handal dapat di lakukan dengan menerapkan bauran pemasaran (price, product, placement, promotion, proceed, and service) dengan mengacu pada segmentation, targeting and positioning. Pada tingkatan pembentukan harga bank harus mampu memangkas biaya – biaya yang di anggap dapat di hindarkan (downling cost). Sehingga rate nya makin kompetitif, sehingga dapat bersaing dengan perusahaan sejenis. Pendekatan yang di pakai dapat berupa penetration pricing approach untuk bank dengan penguasaan pasar yang cukup besar, atau parity pricing approach untuk bank dengan target merebut pangsa pasar bank lain. Strategi kedua ini terlalu berisiko tetapi jika di dorong dengan produktivitas dan efisiensi di internal serta kepemilikan modal dan likuiditas yang cukup maka risiko tersebut dapat di negasikan. Rate (suku bunga simpanan dan pinjaman) ini lah yang menjadi indikator bank mampu menjadi channel intermediasi kebijkan moneter, selama tidak terjadi perubahan rate yang signifikan pendekan tersebut tidak efektif di lakukan. Kedua dengan situasi ekonomi yang tidak pasti, bahkan tanda – tanda resesi ekonomi sudah mulai kelihatan maka bank hendaknya melakukan kreasi dan inovasi produk yang di tawarkan (funding dan lending). Inovasi produk ini mutlak di lakukan dengan memperhatikan perubahan perilaku, psikografik dan profile nasabahnya. Artinya perlu melakukan identifikasi karakter nasabah secara menyeluruh meliputi persepsi, kemampuan bayarnya, kondisi riil usaha nasabah.

Selain itu bank di tuntut mampu mengidentifikasi gaya hidup dan personality baik berdasarkan kondisi demografi, geografis dan social ekonominya. Semua ini di lakukan agar bank dapat mendeteksi lebih dini dan mampu mengelola nasabahnya dengan baik sehingga profitabilitas yang di peroleh tidak turun, dan kolektibilitas kredit membaik atau angka NPL nya rendah. Ketiga saluran komunikasi dan pemasaran bank makin di perluas lagi, cakupannya kalau memungkinkan tingkat nasional. Dengan pola saluran yang tepat dan jangkauan yang luas bank dapat lebih mudah melayani nasabahnya. Jika dengan pendekatan membuka cabang baru tidak memungkinkan maka dengan membuka pos pelayanan, dan atau bekerja sama dengan agen – agen yang kredibel adalah salah satu cara yang efektif untuk mempertahankan market share (pangsa pasar).

Selanjutnya peningkatan kualitas promosi untuk membangun positioning yang kuat di benak nasabah sangat di anjurkan. Kualitas promosi lebih di tekankan pada kemampuan media yang di gunakan bank untuk membangun image bahwa bank tersebut kredible, kinerjanya semakin meningkat, mampu memberikan solusi atas segala persoalan nasabah dengan berbagai heterogenitas yang di hadapi nasabah. Dengan berbekal senjata best perform, credible and flexible maka image bank akan terbangun dengan baik dan dengan sendirinya terbangun modal yang sangat besar bagi operasionalisasi bank yaitu ” Trust ”. Setelah terbangun trust dan positioning yang mantab maka bank hanya perlu melakukan upaya promosi dengan melakukan inovasi – inovasi pembaharuan produk yang di hasilkan, disesuai dengan tingkat kebutuhan dan perubahan perilaku nasabahnya.

Langkah berikutnya merupakan pemberian pelayanaan yang berorientasi pada ” need consumer ” dengan goals satisfaction consumer. Kepuasan konsumen adalah langkah awal dan untuk membangun loyalitas nasabah. Tanpa adanya kepuasan tidak mungkin mampu membangun loyalitas nasabah. Oleh karena bank yang kian hari kian kompetitif persaingannya perlu melakukan penyegaran – penyegaran dalam memberikan pelayanaan yang ending nya mampu membuat nasabah nyaman, aman dan terpenuhi semua kebutuhan nasabah. Penyegaran – penyegaran itu di fokuskan pada pemenuhan SDM yang mampu memenuhi tuntutan perubahan perilaku nasabah dengan segala latar belakangnya. Dengan demikian di perlukan individu – individu yang positive thinking, anthusiasme, full power, energic, dan memiliki kemampuan mengendalikan emosi yang baik.

Comments :

0 komentar to “DILEMATIKA BANK DAN STRATEGI BISNIS”

Posting Komentar